Mentari Senja
Aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, kakak pertamaku bernama Ridwan, sedangkan kakak keduaku bernama Santi, aku sendiri yaitu Ridho. Aku terlahir dari keluarga yang tidak kaya tetapi juga tidak miskin, yaaaaa paling tidak sederhana tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan. Seperti prinsip orang jawa yaitu “mangan wareg, sandang rapet, turu anget” artinya bahwa makan kenyang, sandang terpenuhi, dan tidur nyaman. Pada intinya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pokok yang utama. Sepertinya Cuma itu yang bisa mendeskrispikan saya.
Bulan mei setelah selesai ujian akhir nasional, aku seakan terombang ambing dengan berbagai pilihan teman-temanku yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku yang terlahir dari keluarga biasa dan sederhana harus berpikir dua kali apakah aku bisa melanjutkan kuliah walau seadanya atau aku harus bekerja??ternyata setelah aku biacara dan berdiskusi dengan keluargaku ayahku dan kakak-kakakku menyetujui aku untuk kuliah meskipun kakak-kakakku sebelumnya tidak melanjutkan di bangku kuliah. Hari pertama aku mendaftar dikota dekat tempat tinggalku, aku mendaftar dengan lima orang temanku toni, adit, zaenal, dan arif. Kami memilih jurusan berbeda dan tempat berbeda sesuai minat dan bakat, tentunya bakat financial. Satu bulan setelah mengikuti tes aku ditelepon temanku kalau aku diterima dan masuk koran lokal, dengan nada bingung dan setengah tidak percaya akupun membuka internet dan memastikan semuanya, ternyata benar aku diterima di perguruan tinggi negeri yogyakarta. Dengan nada setengah memelas akupun berbicara dengan ayahku dan membahas administrasi.
Tepat tanggal 28 juni aku berangkat ke jogjakarta dan mengurus administrasi termasuk tempat tinggalku untuk beberapa tahun di jogja. Tak kusangka setelah mengikuti tes kesehatan aku bertemu dengan seorang cewek hitam maning dengan badan lurus seperti rambutnya, entah apa yang ada dalam pikiranku dan dalam bayanganku, tiba-tiba saja secara spontan aku menundukkan kepala sembari tersenyum seakan dia adalah orang yang pernah aku kenal, entah mungkin dia reinkarnasi dari istriku pada kehidupan sebelumnya. Tetapi aku tidak ambil pusing, yang jelas itu adalah pertama dan yang utama dari petualangan cintaku selama kuliah di jogja. beberapa hari kmudian tibalah saat yang paling menakutkan dengan berbagai pemberitaan tentang sistem pemloncoan(kekerasan angkatan tua terhadap angakatan muda) yaitu ospek. Tanpa disangka dan tanpa disengaja aku melihat dia (cewek yang ketemu pas tes kesehatan) dan kulihat papan nama besar di dadanya, ternyata dia bernama “INDRI”.
Hari-hari ku lalui hanya dalam kamar berukuran 3x3 meter di depan jalan gang dekat kampus. Aku merasa seperti mayat hidup yang hidup enggan matipun tak mampu eh tak mau maksudnya. Aku hanya ditemani oleh kasur dan dua buah bantal dengan DVD lengap speaker aktifnya sebagai hiburang dan pelengkap semua penderiataanku selama di jogja. Beberapa bulan kujalani kehiduan kuliahku dengan penuh kekosongan tanpa semangat, tanpa motivasi dan tanpa gairah layaknya kompas yang terlepas jarumnya. Ada sebagian orang yang bilang itu karena aku belum punya pasangan, tetapi entahlah akupun tak pernah berusaha menampik itu semua karena aku sendiri masih belum yakin dengan semua ini.
Takdir seakan tidak tinggal diam dengan semua ini, akupun tanpa sengaja bertemu dengan indri di tangga dekat lab dan mencoba menyapa dengan senyuman dan tatapan penuh harap. Tak sia-sia semua yang kulakukan karena semua terbayarkan dengan respon indri yang baik. Hampir setiap seminggu sekali aku bertemu dengan indri di tangga yang sama dan waktu yang sama karena memang jadwal kami sama meskipun berbeda jurusan. Entah dari mana semua perasaan ini ada dan berasal,, meskipun aku selalu berusaha datang tepat waktu agar bisa bertemu indri dan menyapanya seperti biasa namun semuanya seakan jalan ditempat, tak ada perkembangan dan tak ada perubahan, hanya sebuah nama yang aku ketahui itupun dari papan nama besar pada saat ospek. Mungkin ada benarnya juga bahwa dari mana datangnya lintah??dari sawah turun ke bukit, dari mana datangnya cinta??dari mata turun ke hati. Agaknya teori itu benar karena aku sendiri tergerak entah oleh hati atau sekedar motivasi hingga akhirnya aku mendapatkan nomor Hpnya indri.
Sehari setelah aku dapatkan nomornya aku terdiam tidak hanya seribu bahasa tetapi bahkan terdiam sejuta bahasa dengan terus memutar otak bagaimana berkata untuk mengawali pembicaraan dengan indri walau hanya lewat sms. Dengan nada dan bahasa canggung, sederhana, mungkin bahkan tidak bermakna akupun mulai mengetik pesan singkat lewat layar hitam terbalut casing biru. Entah perkembangan, perubahan, atau bahkan inovasi perasaan, namun semuanya seakan terbaca lewat pesan singkat yang kami lakukan dan kami sebut sebagai rutinitas meskipun sesekali aku terkadang menelpon untuk mendengarkan suara lirih nan lembut layaknya veronica yang sedang berbicara kepada customernya. semuanya aku alami dan aku lakukan selama hampir sebulan.
Malam itu selepas sholat maghrib dengan berdiri di cermin aku berusaha melepaskan semua senjata yang aku punya untuk menghadapi indri, karena bagiku malam ini adalah perang, perang melawan dan memperjuangkan perasaan. Tibalah saatnya aku menjemput indri di kostnya di dekat warung padang yang terkenal di kalangan anak-anak kampus. Seribu bahasa seakan tak berguna setelah aku melihat penampilan indri, hanya satu kata yang bisa mewakili perasaanku yaitu “perfect”. Tanpa basa-basi aku langsung menyalakan kendaraan roda duaku yang merupakan peninggalan kakakku ridwan setelah dia lulus SMA. Semuanya terasa memihakku, dua buah jagung bakar rasa manis pedas serta es teh cukup menemaniku bersama indri. Semua lepas dan terbuka baik perasaan maupun pembicaraan kami hingga aku tak sadar hatiku telah ditelanjangi lewat pertanyaan-pertanyaan indri, sementara aku terlena hingga tak mampu sedikitpun untuk membedah perasaan indri. Semuanya berlalu hanya dengan Rp 10.000,-
Semua kembali dalam percakapan layar hitam berbalut casing biru layaknya orang yang sedang menjalani LDRan (Long Distance Relathionship => hubungan jarak jauh). Dengan penuh ragu, malu, kaku, dan nahkan mungkin wagu aku coba mengajaknya keluar dengan membawa sebuah rencana, meskipun tanpa rencana B tetapi aku sudah menyerahkan semua perasaanku malam ini. Kali ini aku hanya mengajaknya ke alun-alun yang ramai dengan kerumunan orang serta sepeda lampu yang bervariasi bentuknya. Aku mencoba mengajaknya di tengah pohon beringin tua penuh makna. Tanpa membuang waktu aku hanya berbicara
Aku :“ndri, aku mau kamu menutup mata”
Indri :”emang buat apaan”
Aku :”udaaaahh cepet, nggak bakal di apa-apain kok,hehehee”
Dengan berhati-hati dan penuh waspada barangkali ada orang yang melihat akupun mencoba menempelkan bibirku dengan bibirnya indri layaknya film hollywod dengan gaya amatir. Tak bertahan lama indripun membuka mata dan berkata
Indri :”loch kok kamu gitu??”
Aku :”maaf ndri, itulah ciuman pertamaku. Aku berjanji pada diriku sendiri akan memberikan ciuman pertamaku untuk orang yang benar-benar aku cinta dan aku memilih untuk memberikan ciuman pertamaku sama kamu ndri”
Indri :dengan nada setengah bingung dan malu “tapi kan...”
Aku :”aku tau ndri..begini saja, kalau kamu juga mencintaiku kamu peluk aku dan katakan aku juga mencintai kamu, tapi jika kamu tidak mencintaiku maka kecup bibirku dan katakan aku kembalikan ciuman kamu, bagaimana??”
Indri :”kalo aku nyium kamu kita masih tetep temenan kan??”
Aku :”ya begitulah,meskipun nantinya mungkin kita akan sedikit berbeda setelah kejadian ini”
Indri :entah ragu-ragau atau pura-pura malu, bahkan terlihat tanpa membuang waktu indripun memelukku dan berkata “maaf do aku nggak mau dan nggak bisa,tolong antar aku pulang sekarang do”
Dengan tertunduk malu dan lesu akupun mencoba mengartikan semua ini, kalau dia menolak cintaku harusnya dia mencium bibirku tetapi malah memelukku, tapi kalau dia menerima cintaku harusnya dia bilang iya kok malah bilang nggak mau dan nggak bisa??. Semua pertanyaan dan pernyataan mewarnai pikiran, perasaan, dan hatiku layaknya baliho yang mewarnai setiap sudut jalan yang kulewati. Meskipun tak sepatah kata yang keluar sepanjang perjalanan pulang menuju kostnya indri. Sesampainya di kost indri aku hanya bicara beberapa kata “terimakasih atas semuanya ndri dan maaf soal tadi” dengan menunduk entah malu atau menyembunyikan sesuatu indri hanya berkata “iya sama-sama do,tidak ada yang salah dan perlu dipermasalahkan karena pada dasarnya perasaan memang tak bersalah. Ya udah met malem za do dan hati-hat di jaan”. Tanpa menunggu aku pergi indripun sudah mendahuluikku memasuki gerbang kostnya. Dengan kekecewaan dan penyesalan atas apa yang terjadi di alun-alun, aku mencoba membuka pembicaraan lewat dunia maya walaupun hanya lewat sms. ”met mlem ndri, btw aku mencoba mengartikan semua ini tapi masih belum menemukan jawabannya, kalau kamu menolak cintaku harusnya kamu mencium bibirku tetapi kok malah memelukku, kalaupun kamu menerima cintaku harusnya kamu bilang iya kok malah bilang nggak mau dan nggak bisa??. Aku benar-benar masih belum paham dengan semua ini”. Kupandangi dan kuputar-putar HPku menunggu jawaban dari pertanyaan yang mengatasnamakan perasaan hingga aku terlelap tidur. Aku terbangun sesaat dan kupandangi HP dan kulihat sebuah pesan dari indri “maaf bgt do baru bls,aku sendri masih belum mengerti dengan perasaanku, perasaan kamu, dan perasaan kita berdua. Aku masih belum tersadar apa yang terjadi semalam, dan aku masih tidak peraya engan kejadian semalam. Aku Cuma bisa bilang AKU NGGAK MAU MENOLAK CINTAMU DAN AKU NGGAK BISA HIDUP TANPAMU, itu yang sebenarnya aku mau katakan semala, tetapi aku masih ragu dan takut kalau-kalau aku salah mengartikan semua ini.”
Melihat dan membaca pesan dari indri mataku langsung bersinar hampir 1000 watt seakan aku mendapat pesan dari surga. Kucoba telepon indri tetapi Hpnya dimatikan, mungkin indri memberikan kesempatan buatku untuk berpikir dan memikirkan apa yang terjadi semalam dan bagaimana kedepannya. Dengan perasaan yang masih menyala dan penasaran yang masih mendera aku coba memejamkan mata meskipun agak sulit tetapi aku tetap berusaha tidur agar besok bisa terbangun dengan harapan-harapan yang pasti tidak sekedar mimpi sebagai buah imajinasi.
Bulan mei setelah selesai ujian akhir nasional, aku seakan terombang ambing dengan berbagai pilihan teman-temanku yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku yang terlahir dari keluarga biasa dan sederhana harus berpikir dua kali apakah aku bisa melanjutkan kuliah walau seadanya atau aku harus bekerja??ternyata setelah aku biacara dan berdiskusi dengan keluargaku ayahku dan kakak-kakakku menyetujui aku untuk kuliah meskipun kakak-kakakku sebelumnya tidak melanjutkan di bangku kuliah. Hari pertama aku mendaftar dikota dekat tempat tinggalku, aku mendaftar dengan lima orang temanku toni, adit, zaenal, dan arif. Kami memilih jurusan berbeda dan tempat berbeda sesuai minat dan bakat, tentunya bakat financial. Satu bulan setelah mengikuti tes aku ditelepon temanku kalau aku diterima dan masuk koran lokal, dengan nada bingung dan setengah tidak percaya akupun membuka internet dan memastikan semuanya, ternyata benar aku diterima di perguruan tinggi negeri yogyakarta. Dengan nada setengah memelas akupun berbicara dengan ayahku dan membahas administrasi.
Tepat tanggal 28 juni aku berangkat ke jogjakarta dan mengurus administrasi termasuk tempat tinggalku untuk beberapa tahun di jogja. Tak kusangka setelah mengikuti tes kesehatan aku bertemu dengan seorang cewek hitam maning dengan badan lurus seperti rambutnya, entah apa yang ada dalam pikiranku dan dalam bayanganku, tiba-tiba saja secara spontan aku menundukkan kepala sembari tersenyum seakan dia adalah orang yang pernah aku kenal, entah mungkin dia reinkarnasi dari istriku pada kehidupan sebelumnya. Tetapi aku tidak ambil pusing, yang jelas itu adalah pertama dan yang utama dari petualangan cintaku selama kuliah di jogja. beberapa hari kmudian tibalah saat yang paling menakutkan dengan berbagai pemberitaan tentang sistem pemloncoan(kekerasan angkatan tua terhadap angakatan muda) yaitu ospek. Tanpa disangka dan tanpa disengaja aku melihat dia (cewek yang ketemu pas tes kesehatan) dan kulihat papan nama besar di dadanya, ternyata dia bernama “INDRI”.
Hari-hari ku lalui hanya dalam kamar berukuran 3x3 meter di depan jalan gang dekat kampus. Aku merasa seperti mayat hidup yang hidup enggan matipun tak mampu eh tak mau maksudnya. Aku hanya ditemani oleh kasur dan dua buah bantal dengan DVD lengap speaker aktifnya sebagai hiburang dan pelengkap semua penderiataanku selama di jogja. Beberapa bulan kujalani kehiduan kuliahku dengan penuh kekosongan tanpa semangat, tanpa motivasi dan tanpa gairah layaknya kompas yang terlepas jarumnya. Ada sebagian orang yang bilang itu karena aku belum punya pasangan, tetapi entahlah akupun tak pernah berusaha menampik itu semua karena aku sendiri masih belum yakin dengan semua ini.
Takdir seakan tidak tinggal diam dengan semua ini, akupun tanpa sengaja bertemu dengan indri di tangga dekat lab dan mencoba menyapa dengan senyuman dan tatapan penuh harap. Tak sia-sia semua yang kulakukan karena semua terbayarkan dengan respon indri yang baik. Hampir setiap seminggu sekali aku bertemu dengan indri di tangga yang sama dan waktu yang sama karena memang jadwal kami sama meskipun berbeda jurusan. Entah dari mana semua perasaan ini ada dan berasal,, meskipun aku selalu berusaha datang tepat waktu agar bisa bertemu indri dan menyapanya seperti biasa namun semuanya seakan jalan ditempat, tak ada perkembangan dan tak ada perubahan, hanya sebuah nama yang aku ketahui itupun dari papan nama besar pada saat ospek. Mungkin ada benarnya juga bahwa dari mana datangnya lintah??dari sawah turun ke bukit, dari mana datangnya cinta??dari mata turun ke hati. Agaknya teori itu benar karena aku sendiri tergerak entah oleh hati atau sekedar motivasi hingga akhirnya aku mendapatkan nomor Hpnya indri.
Sehari setelah aku dapatkan nomornya aku terdiam tidak hanya seribu bahasa tetapi bahkan terdiam sejuta bahasa dengan terus memutar otak bagaimana berkata untuk mengawali pembicaraan dengan indri walau hanya lewat sms. Dengan nada dan bahasa canggung, sederhana, mungkin bahkan tidak bermakna akupun mulai mengetik pesan singkat lewat layar hitam terbalut casing biru. Entah perkembangan, perubahan, atau bahkan inovasi perasaan, namun semuanya seakan terbaca lewat pesan singkat yang kami lakukan dan kami sebut sebagai rutinitas meskipun sesekali aku terkadang menelpon untuk mendengarkan suara lirih nan lembut layaknya veronica yang sedang berbicara kepada customernya. semuanya aku alami dan aku lakukan selama hampir sebulan.
Malam itu selepas sholat maghrib dengan berdiri di cermin aku berusaha melepaskan semua senjata yang aku punya untuk menghadapi indri, karena bagiku malam ini adalah perang, perang melawan dan memperjuangkan perasaan. Tibalah saatnya aku menjemput indri di kostnya di dekat warung padang yang terkenal di kalangan anak-anak kampus. Seribu bahasa seakan tak berguna setelah aku melihat penampilan indri, hanya satu kata yang bisa mewakili perasaanku yaitu “perfect”. Tanpa basa-basi aku langsung menyalakan kendaraan roda duaku yang merupakan peninggalan kakakku ridwan setelah dia lulus SMA. Semuanya terasa memihakku, dua buah jagung bakar rasa manis pedas serta es teh cukup menemaniku bersama indri. Semua lepas dan terbuka baik perasaan maupun pembicaraan kami hingga aku tak sadar hatiku telah ditelanjangi lewat pertanyaan-pertanyaan indri, sementara aku terlena hingga tak mampu sedikitpun untuk membedah perasaan indri. Semuanya berlalu hanya dengan Rp 10.000,-
Semua kembali dalam percakapan layar hitam berbalut casing biru layaknya orang yang sedang menjalani LDRan (Long Distance Relathionship => hubungan jarak jauh). Dengan penuh ragu, malu, kaku, dan nahkan mungkin wagu aku coba mengajaknya keluar dengan membawa sebuah rencana, meskipun tanpa rencana B tetapi aku sudah menyerahkan semua perasaanku malam ini. Kali ini aku hanya mengajaknya ke alun-alun yang ramai dengan kerumunan orang serta sepeda lampu yang bervariasi bentuknya. Aku mencoba mengajaknya di tengah pohon beringin tua penuh makna. Tanpa membuang waktu aku hanya berbicara
Aku :“ndri, aku mau kamu menutup mata”
Indri :”emang buat apaan”
Aku :”udaaaahh cepet, nggak bakal di apa-apain kok,hehehee”
Dengan berhati-hati dan penuh waspada barangkali ada orang yang melihat akupun mencoba menempelkan bibirku dengan bibirnya indri layaknya film hollywod dengan gaya amatir. Tak bertahan lama indripun membuka mata dan berkata
Indri :”loch kok kamu gitu??”
Aku :”maaf ndri, itulah ciuman pertamaku. Aku berjanji pada diriku sendiri akan memberikan ciuman pertamaku untuk orang yang benar-benar aku cinta dan aku memilih untuk memberikan ciuman pertamaku sama kamu ndri”
Indri :dengan nada setengah bingung dan malu “tapi kan...”
Aku :”aku tau ndri..begini saja, kalau kamu juga mencintaiku kamu peluk aku dan katakan aku juga mencintai kamu, tapi jika kamu tidak mencintaiku maka kecup bibirku dan katakan aku kembalikan ciuman kamu, bagaimana??”
Indri :”kalo aku nyium kamu kita masih tetep temenan kan??”
Aku :”ya begitulah,meskipun nantinya mungkin kita akan sedikit berbeda setelah kejadian ini”
Indri :entah ragu-ragau atau pura-pura malu, bahkan terlihat tanpa membuang waktu indripun memelukku dan berkata “maaf do aku nggak mau dan nggak bisa,tolong antar aku pulang sekarang do”
Dengan tertunduk malu dan lesu akupun mencoba mengartikan semua ini, kalau dia menolak cintaku harusnya dia mencium bibirku tetapi malah memelukku, tapi kalau dia menerima cintaku harusnya dia bilang iya kok malah bilang nggak mau dan nggak bisa??. Semua pertanyaan dan pernyataan mewarnai pikiran, perasaan, dan hatiku layaknya baliho yang mewarnai setiap sudut jalan yang kulewati. Meskipun tak sepatah kata yang keluar sepanjang perjalanan pulang menuju kostnya indri. Sesampainya di kost indri aku hanya bicara beberapa kata “terimakasih atas semuanya ndri dan maaf soal tadi” dengan menunduk entah malu atau menyembunyikan sesuatu indri hanya berkata “iya sama-sama do,tidak ada yang salah dan perlu dipermasalahkan karena pada dasarnya perasaan memang tak bersalah. Ya udah met malem za do dan hati-hat di jaan”. Tanpa menunggu aku pergi indripun sudah mendahuluikku memasuki gerbang kostnya. Dengan kekecewaan dan penyesalan atas apa yang terjadi di alun-alun, aku mencoba membuka pembicaraan lewat dunia maya walaupun hanya lewat sms. ”met mlem ndri, btw aku mencoba mengartikan semua ini tapi masih belum menemukan jawabannya, kalau kamu menolak cintaku harusnya kamu mencium bibirku tetapi kok malah memelukku, kalaupun kamu menerima cintaku harusnya kamu bilang iya kok malah bilang nggak mau dan nggak bisa??. Aku benar-benar masih belum paham dengan semua ini”. Kupandangi dan kuputar-putar HPku menunggu jawaban dari pertanyaan yang mengatasnamakan perasaan hingga aku terlelap tidur. Aku terbangun sesaat dan kupandangi HP dan kulihat sebuah pesan dari indri “maaf bgt do baru bls,aku sendri masih belum mengerti dengan perasaanku, perasaan kamu, dan perasaan kita berdua. Aku masih belum tersadar apa yang terjadi semalam, dan aku masih tidak peraya engan kejadian semalam. Aku Cuma bisa bilang AKU NGGAK MAU MENOLAK CINTAMU DAN AKU NGGAK BISA HIDUP TANPAMU, itu yang sebenarnya aku mau katakan semala, tetapi aku masih ragu dan takut kalau-kalau aku salah mengartikan semua ini.”
Melihat dan membaca pesan dari indri mataku langsung bersinar hampir 1000 watt seakan aku mendapat pesan dari surga. Kucoba telepon indri tetapi Hpnya dimatikan, mungkin indri memberikan kesempatan buatku untuk berpikir dan memikirkan apa yang terjadi semalam dan bagaimana kedepannya. Dengan perasaan yang masih menyala dan penasaran yang masih mendera aku coba memejamkan mata meskipun agak sulit tetapi aku tetap berusaha tidur agar besok bisa terbangun dengan harapan-harapan yang pasti tidak sekedar mimpi sebagai buah imajinasi.